Dipentaskan Dengan Judul |
Cincong-Cincong
DALAM
GERIMIS
Jacob Marala
SENIN TANGGAL 25 JULI 2011 PADA ULANG
TAHUN DKM KE
42
Pemain :
Palingge
Borra
Dumba
Kamase (Pemilik Warung)
Adik perempuan Palingge
Ipar, Palingge
SEBUAH PERKAMPUNGAN
DI KAKI BUKIT
DI ANTARA BANGUNAN TERDAPAT SEBUAH MEJA AGAK PANJANG, DUA
BUAH BANGKU DAN SATU BUAH KURSI MENGHADAP PENONTON.
CUACA DINGIN DAN GERIMIS TURUN AGAK DERAS
BORRA, YANG SEDARI TADI DUDUK DISALAH SATU BANGKU, BERTEDUH
DIBAWA PAYUNG KUMAL, ASIK MEMBACA KORAN SAMBIL MENIKMATI SEGELAS KOPI HITAM DENGAN ROKOK BERASAP DI
JARI TANGAN KANANNYA, SEKALI-SEKALI BORRA
TAMPAK GELISAH MEMPERBAIKI DUDUKNYA, DISEBABKAN OLEH BISUL YANG MEMBENGKAK DI
PANTAT. BORRA’ MENENGOK KIRI DAN KANAN MENUNGGU KALAU-KALAU ADA TEMAN RONDA ATAU KENALAN YANG BAKAL LEWAT.
MAKLUM KANTONG LAGI KEMPES PADAHAL KOPI YANG TINGGAL SEPARUH
GELAS, MESTI DI BAYAR SEBELUM MENINGGALKAN TEMPAT.
ADEGAN I
BORRA :
(MEMPERHATIKAN JAM
TANGANNYA) Payah. Sudah tiga jam belum
juga ada tanda-tanda….. Kemana mereka. (MENENANGKAN DIRI, KEMBALI MEMBACA DAN
MEMBOLAK BALIK KORAN……………………………….)
DUMBA :
(JALAN TERPINCANG-PINCANG MEMAKAI MANTEL PLASTIK TUA.
SEBELUM DUDUK, IA MINTA KOPI SATU GELAS KEPADA PEMILIK WARUNG) Satu gelas !
BORRA :
(……BERHENTI MEMBACA, SEJENAK MENGAMATI ORANG YANG SEMENTARA
BERDIRI DI DEPANNYA) Sepertinya saya kenal saudara.
DUMBA’ :
Mungkin. Yang jelas saya adalah penduduk asli, Bangkeng
Bulu’
BORRA’
Dumba’ !
DUMBA’ :
Borra’ ?. . . . (SALING BERANGKULAN PENUH RASA RIANG CAMPUR
HARU) Akhirnya kita ketemu kembali sahabat.
BORRA’ :
Ternyata kau masih hidup
DUMBA :
Ya, tentu. Sebab kalau diantara kita sudah ada yang mati,
pasti tidak ada lagi pertemuan.
(KEDUANYA TERTAWA HABIS SAMBIL DUDUK. MASING-MASING MENENANGKAN
PERASAANNYA……MEMPERHATIKAN KESEKELILING…)
Rasa-rasanya kampong kita masih seperti dulu.
BORRA :
Itulah bukti kalau diantara kita berdua tak ada dusta.
Bukankah kau sendiri pernah berjanji dalam surat, akan pulang asal bangkeng
bulu masih tetap perawan.
DUMBA’ :
Pepatah mengatakan, Dusta itu, mengekor sampai keliang
kubur.
RORRA’ :
Lihat, bukit yang bernama Bangkeng Bulu’ masih tetap ditempat, tidak kemana-mana.
DUMBA’ :
Itu karena ia tidak punya kaki.
BORRA’ :
Ia, ya ?
Kau masih ingat ? Ketika kita masih kecil di tempat inilah
kau selalu menikmati Tedong Pallubasana, Deng Rowa.
DUMBA :
Dan kalau tidak salah
di seberang sana ,
kau sendiri tidak pernah tidak, setiap pagi manikmati songkolo’ le’lenna Deng
Ngai. (KRDUANYA TERTAWA, BORRA MENUTUP MUKANYA DENGAN KORAN) Aku tahu kalau kau
menutup mukamu.
(UCAP BERSAMA) Karena kau dan aku selalu dikejar-kejar hutang (TAWA GELIPUN TERDENGAR KEMBALI)
KAMASE :
(DATANG MEMBAWA DAN MELETAKKAN SEGELAS KOPI DI ATAS MEJA)
DUMBA :
(KEPADA PELAYAN) Dan
kau pasti cucunya daeng Rowa ?.
KAMASE :
Bukan Om. Saya adalah anaknya almarhum, Bos Tulang (KEMBALI
KE WARUNGNYA)
BORRA :
Ya, satu-satunya darah daging almarhum pak Tulang yang
selamat.
DUMBA :
Maksudmu ?
BORRA :
Pak Tulang telah tewas beberapa tahun lalu
DUMBA :
Tewas ? Memangnya
pernah terjadi perang ?
BORRA :
Pak Tulang, yang
menegakkan Siri’, telah mencincang lelaki yang membawa lari anak gadisnya, ya,
kakak si pemuda itu lah.
DUMBA :
Yah, seharusnya memang begitu. Tindakan pak Tulang saya
sokong.
BORRA :
Tetapi ujung-ujungnya menimbulkan banjir darah. Mereka
saling bunuh-membunuh, yang sebenarnya tidak perlu terjadi.
DUMBA :
Kenapa mesti saling membunuh ? Bukankah pak Tulang dipihak yang benar ?
BORRA :
Begitula kalau malapetaka mau terjadi, pak Tulang yang
diliputi rasa dendam boleh dibilang menyalahi aturan main.
DUMBA :
Begitukah ?...... Terus ?
BORRA :
Sebagai “Tumasiri” tidak mesti mengejar dan
menikam lelaki “Tumanynyala” yang sudah melemparkan songkoknya menyeberang
pagar. Apalagi lelaki itu sudah berlindung disebuah rumah tetangga, yang
ternyata keluarganya malah.
DUMBA :
Oh…….Lantas ?
BORRA :
Apa mau dikata, seluruh keluarga lelaki tumanynyala itu, balik
tersinggung merasa harga diri mereka diinjak-injak. Merasa nipakasiri’. Akhirnya
antara keluarga dengan keluarga saling tikam menikam. Cincang mencincang dan habislah
kedua belah pihak kecuali si pemuda
pemilik warung itu.
DUMBA’ :
Kasihan pak Tulang.
BORRA :
Apa boleh buat.
DUMBA’ :
Ketika kejadian itu
berlangsung saudara Borra’, dimana ?
BORRA’ :
Saya menyaksikan langsung peristiwa itu dan
tatkala mayat-mayat bergelimpangan disana-sini, saya lari
bersembunyi, bukan karena takut, tetapi karena saya tiba-tiba teringat saudaraku
yang bernama Dumba’
DUMBA’ :
Apa hubungannya ?
BORRA’ :
Soalnya ada berita yang pernah saya baca dikoran kalau seorang
pemuda rantau bernama Dumba, dimutilasi menjadi 12 potong..
DUMBA :
Agrh..kau ini. Kamu salah baca saudara. Bukan Dumba tapi
Dungga, dari India, pemuda keturunan Kolokatta, berkewarganegaraan Tambi.
BORRA’
Tapi bagaimanapun juga, kau dan aku harun bersyukur, sebeb
kalau dugaanku itu benar maka
kita berdua tidak mungkin ketemu lagi. Iya tokh ?…(KEDUANYA TERTAWA. DUMBA
MENGANGKAT TANGANNYA TANDA SETUJU, DAN SALAM CES PUN BERLANGSUG)
Ngomong-omong sejak kapan kau balik menginjakkan kaki di
Bangkeng Bulu ini ?
DUMBA’ :
Sejak aku merindukan kampung halamanku.
Oh ya Bagaimana dengan tetua kita yang lain ?
BORRA :
Daeng Rowa, si penjual Pallubasa, Daeng Ngai, si penjual Songkolo’,Daeng
Pajja, si penjual Putu Mayang, Tetta Baco, si penjual bassang, Puang Bantong si
penjual Ballo, Tuan Abu, sipenjual Salem, Mister Lantoro yang sakti, semuanya
sudah lama K.O.
(SUASANA JEDAH SEJENAK)
DUMBA :
Kalau diingat-ingat, diantara mereka ada saja yang begitu besar
jasanya kapada kita.
BORRA :
Betul. Terutama bila
kita tertimpa musibah
DUMBA :
Ya, seperti aku sekarang
ini. Andai kata Mister Lantoro masih hidup, kakiku yang keseleo ini tidak perlu
berhubungan dengan Medis (SAMBIL MEMPERLIHATKAN KAKINYA DI ATAS MENJA YANG
DIBALUT DENGAN PERBAN) Yang begini kan tidak masuk akal
toch ?
BORRA :
O..memang salah. Keseleo tidak perlu diperban. Ini harus di
urut (MEMEGANG LALU MENGURUT KAKI YANG
KESELEO SEKETIKA ITU PULA DUMBA MENJERIT
LANTANG SETINGGI LANGIT ) Sebenarnya kakimu ini tidak apa-apa, cuma perasaanmu
saja yang sakit.
DUMBA :
(BELINSATAN SAMBIL MERAJUK) Kau masih seperti dulu senang
menyakiti orang. Seumur-umur saya belum pernah merasakan kenyerian seperti ini.
Sungguh, kalau saja kau tidak kuanggap saudaraku, akan kuajak kau berkelahi
habis-habisan.
BORRA :
Demi kebaikanmu saudaraku (KEMBALI MENGURUT KENCANG KAKI
DUMBA, TERAKAN PUN MELANGIT)
DUMBA :
(TERBIRIT
MENINGGALKAN TEMPAT UNTUK MENGUSIR RASA SAKITNYA) Akan kupukul kau sampai gepeng seperti pisang
peppe.
BORRA :
(MERANGKUL
SAHABATNYA) Alaaaah kau ini sudah setua begini masih cengeng. Percaya tidak ? Kau masih sangat beruntung. tidak seperti
aku. (MEMPERLIHATKAN BISUL DI BAHAGIAN PANTATNYA) He. Lihat, bisulku ini, sudah
seminggu lamanya belum sembuh-sembuh juga. Tapi sayakan tidak cengeng (TIBA-TIBA
DUMBA MENAMPAR BISULNYA.) Adaooww Mengapa ditampar ? (KARENA SAKITNYA IA BLINGSATAN………..)
DUMBA :
Biar cepat sembuh, dongo’ !!
BORRA :
Ia, tapi jangan ditampar. Kalau mau menampar, ini pipiku,
pilih yang kanan atau kiri. Tampar. Aduuuuh…...
DUMBA :
Alaah… masih seperti anak kecil empat puluh tahun silam
BORRA :
Ini bukan kecengengan tapi… tapi sakitnya sakit ini…… sungguh saya takdapat melukiskannya dengan kata-kata.
DUMBA :
Ahgrrr… sudahlah, lupakan bisulmu itu seperti aku melupakan sakitnya
kaki yang keseleo ini. (MELIHAT JAM) sekarang sudah hampir pukul sebelas. Demi
keamanan, biar aku temani kau ronda malam ini, Kita perlu jalan memeriksa
kampung ini, siapa tahu orang jahat sudah membongkar rumah warga.
BORRA :
Tunggu dulu teman kita yang lain.
DUMBA :
Siapa-siapa sajakah ?
BORRA :
Deng Burejje’, dan Sampara’ Nillong.
DUMBA :
Allah. Tidak perlu. Meraka
pasti sudah ngorok. Sejak kecil saya sudah tahu persis
kawan kita itu.
BORRA DAB DUMBA’ TIBA-TIBA MELIHAT BAYANGAN YANG MENCURIGAKAN…………..)
ADEGAN 2
BORRA :
Siapa ?!
Saya.
DUMBA :
Saya siapa ?
PALINGGE :
(MENGELUARKAN KOTAK ROKOK DARI SAKUNYA) Apa saudara punya
geretan
BORRA :
Kalau iya, kenapa ?!
PALINGGE :
( MENGAMBIL SEBATANG ROKOK ) Dari tadi saya mau merokok
tetapi geretan saya hilang diperjalanan. (DAN BATANG ROKOK ITUPUN LANGSUNG
MENEMPATI POSISINYA DIKEDUA BIBIR MERAH KEUNGU-UNGUAN)
BORRA :
(MENYALAKAN GERETANNYA PERSIS DIUJUNG ROKOK YANG SEDANG
TERTANCAP DIBIBIR) Sepertinya saudara kedinginan ?
PALINGGE :
DUMBA :
Saudara ini dari mana ?
PALINGGE :
Saya dari kampung sebelah. Sebelahnya sebelah. Oh ya,
kenalkan : Palingge.
BORRA :
Nama saya Borra
DUMBA :
Dumba.
LAPALINGGE :
Dingin ini memaksa saya mencari teman
(KETIGANYA BERJALAN MENUJU TEMPAT DUDUK. MEROGO KANTONG
MANTEL BLUDRUNYA DAN MENGELUARKAN BOTOL MINUMAN ALKOHOL LALU DUDUK DIANTARA
BORRA DAN DUMBA. MENENGGAK BEBERAPA KALI MINUMANNYA)
Demi persaudaraan, silahkan (KEPADA DUMBA DAN BORRA)
DUMBA :
Kami berdua tidak lagi tertarik dengan minuman keras
PALINGGE :
Hah…..hah…hah…. Minuman ini samasekali tidak keras. Lembut, sangat
lembut (MENENGGAK LAGI DAN LAGI) Hm…………. Ayolah kawan, enak, bikin hangat
badan.
BORRA :
Maaf saya sudah lama
insyaf.
PALINGGE :
Insyaf ? Saudara pernah berlumuran dosa ?
BORRA :
Berlumuran dosa ? saya
kira tidak, karena seingat saya tidak pernah berkubang disitu.
PALINGGE :
Dilihat dari potongan, saudara memang bisa masuk sorga.
BORRA :
Dumba’. kata-kata seperti itu baru saya dengar. Bagus.
PALINGGE :
Yah.. karena kita baru ketemu bukan ? Kalau saudara ? (KEPADA DUMBA) Sudah lama
juga insaf ?
DUMBA :
Rasanya saya susah untuk menjawab, karena batas antara baik
dan buruk boleh dibilang tidak berjarak.
PALINGGE :
Hm…Saudara cocok menjadi seorang Ustas, yang suka
mengeluarkan Fatwah. Yah…. Justru paling gampang masuk sorga.
DUMBA :
Kanapa saudara bisa tahu ?
Apa saudara seorang ahli nujum ?
PALINGGE :
Bukan. Tetapi mendengar budi bahasa saudara berdua,
pirasatku mengatakan kalau saudara-saudara adalah orang baik. Orang baik itu pasti
masuk sorga. Apa lagi kalau
Saudara-saudara
meyakini diri sebagai orang yang benar. Uhgr…. Langsung !
DUMBA :
Maaf. Apakah saudara tahu kalau seseorang akan di tangkap
kalau kedapatan minum minuman keras ?
PALINGGE :
Di tangkap ? Hah…hah…
hanya orang yang bersalah yang bisa ditangkap bahkan kalau perlu ia dibunuh !.
Tapi saya-kan tidak bersalah. Jadi siapa yang mau menangkap saya ?
DUMBA :
Semua orang tahu kalau Negara kita ini punya aturan, punya
undang-undang.
PALINGGE :
(SINIS) Semakin banyak larangan, rakyat semakin menderita. Semakin banyak undang-undang
atau semacamnya, semakin merajalela pencurian dan perampokan.
BORRA :
Hati-hatilah kalau berbicara.
PALINGGE :
Kenyataan tidak dapat dibohongi. Dan saya yakin
saudara-saudara sendiri dapat merasakannya, bahkan saudara sudah mengalaminya.
DUMBA :
Sesungguhnya orang ini sudah mabuk, hanya ia tidak
menyadarinya
BORRA :
Dan yang pasti,
Polisi akan menangkap siapapun yang kedapatan minum minuman keras.
PALINGGE :
(MULAI MABUK) Tidak ! tidak ada
penangkapan malam ini.
DUMBA :
Mengapa tidak ?!
PALINGGE :
(DENGAN SINIS) Ya, karena yang ada cuma dua orang ronda
bukan ? Borra dan Dumba’, lagi pula aku
tidak pernah mabuk karena minuman. Tetapi karena mereka telah merampas dan
merusak sebahagian jiwaku, sehingga aku jadi begini.
BORRA :
PALINGGE :
Jangan munafik, nanti tidak masuk sorga.
DUMBA :
Kami tidak mengerti maksud saudara.
PALINGGE :
Ketika nenek moyang kita berada dipuncak kejayaannya,
rakyatnya bagaikan hidup didalam Firdaus. Tepi setelah penjajah muncul dan
lahir di negeri ini, Firdaus ditelan habis oleh mereka. Penjajah-penjajah itu
meruntuhkan semua benteng-benteng kejayaan. Mereka merampas seluruh isi firdaus
dan rakyat yang masih bertahan hidup penuh dengan penderitaan. Disamping
menderita karena dirampas kemerdekaannya, juga karena hak-nya dirampok secara
berjamaah. Dan akibatnya Orang menjadi nekat untuk berbuat apa saja. Untuk melupakan semua itu, … (MENENGGAK MINUMAN) Ini, jalan terbaik. Sebuah
jalan keluar untuk melupakan segala sesuatu yang menyakitkan hati. (TAMPAK
OLENG)
BORRA :
Haruskah seperti itu ?
PALINGGE :
Mau bagaimana lagi ? Mau berkoar-koar menuntut Keadilan ?
Jangan coba-coba, kalian bakal ditangkap dan musnahlah harapanmu masuk sorga ha
ha ha……
DUMBA :
(KEPADA BORRA’) Bicaranya sudah ngelantur
PALINGGE :
Kukatakan terus terang. Aku adalah mantan narapidana kelas
bulu, karena memukul seorang teman yang kurang ajar sampai berdarah-darah.
Orang itu kebetulan keluarga polisi, yang katanya penegak keadilan. Tapia apa
yang terjadi ? Di dalam sel justeru
perkara saya direkayasa.
BORRA :
Maksud saudara ?
PALINGGE :
Yang benar menjadi salah. Yang salah menjadi benar.
DUMBA :
Lalu begaimana nasib saudara ?
PALINGGE :
Saya keluar sel setelah menyogok petugas atas nama
penangguhan. Dengan catatan perkara jalan terus. Lanjut kepengadilan.
BORRA’ :
Mustinya saudara sudah bebas setelah menyogok petugas.
PALINGGE :
(KETAWA) Seorang yang menjalani proses hukum, pastikan statusnya
disaat itu bukan lagi sebagai manusia. Ia bukan lagi subyek tetapi berubah
menjadi obyek.
BORRA’ + DUMBA’
Memuakkan. Sungguh-sungguh memuakka
PALINGGE :
(MUNTAH) ..........Aku muntah bukan karena mabuk tapi memang karena aku muak !
(MUNTAH) ..........Aku muntah bukan karena mabuk tapi memang karena aku muak !
KAMASE :
DATANG MENYODORKAN AIR MINUM, DALAM MOK.
Air, adalah minuman yang tak pernah membosankan.
PALINGGE :
Siapa namamu anak muda ?
KAMASE :
Nama saya, Kamase. (KEMBALI KE WARUNGNYA)
BORRA :
(MENDEKATI PALINGGE) Saudara Palingge, kami mau ronda dulu
siapa tahu disekitar kampung ini, sudah kedatangan tamu yang tidak diundang.
P0ALINGGE :
Saya tersinggung, saya adalah tamu yang tidak diundang
DUMBA :
Maaf, maksud kami siapa tahu kalau-kalau sudah ada pencuri
berkeliaran disekitar kampung ini. Permisi...
PALINGGE :
Kejahatan terjadi bukan hanya karena niat pelakunya, tapi
juga karena menghilangnya Firdaus disetiap hati manusia. Waspadalah !
waspadalah ! Ha…ha….ha.
(SEASANA HENING)
ADEGAN 3
KAMASE :
(MENYODORKAN PELINDUNG KEPALA ATAU SARAUNG)
Udara tengah malam begini tidak baik bagi kesehatan, Daeng.
PALINGGE :
Duduklah, temani aku disini.
KAMASE :
Bisa, tapi jangan lama, Daeng
PALINGGE :
Saya ada disini untuk
satu tujuan (MENGELUARKAN BADIK BERSARUNGNYALALU MEMPERLIHATKAN GERAKAN
MENGGOROK LEHER)
PELAYAN BISU :
Waduh. Maaf daeng. Saya tidak mau ikut campur.
PALINGGE :
Kalau begitu jawab pertanyaanku. Apa ada orang baru di
kampong ini ?
KAMASE :
Saya kira yang paling tahu, adala kedua orang ronda itu,
Daeng. Daeng Borra dan Daeng Dumba’
PALINGGE :
Terima asih…. (MENGELUARKA BANYAK UANG DARI SAKUNYA) Ini
untuk harga dua gelas kopi, dan lebihnya buat tambah modal usahamu
KAMASE :
Terima Kasih. Daeng (MENINGGALKAN TEMPAT )
PALINGGE :
MENGAMBIL KORAN YANG DITINGGAL BORRA : IA LALU MEMBACA PUISI
RENDRA, YANG TERDAPAT DALAM KORAN TSB.
*)Ratu adil itu tidak ada.
Ratu adil itu tipu daya !
Apa yang harus kita tegakkan bersama
adalah hukum Adil
Hukum adil adalah bintang pedoman di dalam prahara
Bau anyir darah yang kini memenuhi udara
menjadi saksi yang akan berkata :
Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat
apabila cukong-cokong sudah menjarah ekonomi bangsa
apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan
maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa
lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya.
(SEOLAH IA TUJUKAN KEPADA KAMASE YANG LAGI BERADA DI DALAM
WARUNGNYA) Jadi kau jangan coba-coba menunggu ratu adil, sebab ratu adil adalah
kekejaman yang penuh muslihat dan sungguh menjijikkan. (MENGHEMPASKAN KORAN ITU
DAN MENINGGALKAN TEMPAT)
ADEGAN 4
BORRA :
(BERPAPASAN DI JALAN) Saudara mau kemana ?
PALINGGE :
Melanjutkan perjalanan, menyuisuri pematang.
DUMBA :
Untuk apa ?
PALINGGE :
(PERLAHAN KEMBALI
MENDEKATI DUM,BA DAN BORRA) Ia mesti mati malam ini juga !
DUMBA :
Siapa orangnya ?
PALINGGE :
Apa saudara kenal dua pasang pengantin baru yang orang
bilang tinggal dekat-dekat bukit ini ?
DUMBA :
Pengantin baru ?
PALINGGE :
Ya, pengantin baru.
BORRA :
Kalau yang saudara maksud pengantin baru adalah yang
betul-betul baru kawin, artinya baru satu dua hari, maka saya rasa saya tidak
kenal.
Tapi ada yang saya kenal, teman baik saya malah, sama-sama
penggarap sawah dekat-dekat sini. Tapi mungkin bukan dia yang saudara maksud, sebab
kawinnya sudah lama
PALINGGE :
Kenapa saudara tahu sudah lama ?
BORRA :
Karena perut isterinya sudah hampir ranum. Kelihatannya
tinggal menunggu harinya.
PALINGGE :
Terima kasih. (MEMELUK BORRA)
DUMBA :
Kenapa terimakasih
PALINGGE :
DUMBA :
Kenapa saudara pastikan
PALINGGE :
Memang dialah
BORRA :
Saudara ini apanya mereka ?
PALINGGE :
Lakinya, ipar saya. Isterinya adik kandung.
BORRA-DUMBA :
(MENYAMBUT GIRANG) Oh..
selamatlah……….
PALINGGE :
Tapi yang tepat tinggal mereka dimana ?
BORRA :
Jalan saja menyusuri kaki bukit sana itu. Kemudian kalau ketemu mata air mancur
dan pohon beringin besar, di sekitar itulah. Ada jalan setapak keatas bukit.
Diatas sanalah rumah mereka.(DUMBA’, MENUJU WARUNG UNTUK MEMBAYAR HARGA 2 GELAS
MINUMAN KOPI, TAPI DITOLAK OLEH KEMASE, DENGAN ALASAN TELAH DILUNASI OLEH
PALINGGE)
PALINGGE :
Sekali lagi terima kasih. (PERGI DAN MENGHILANG DI TIKUNGAN)
DUMBA :
Terima kasih juga untuk 2 gelas harga kopi. (MENERIAKI
PALINGGE) Hati-hati ! Pematangnya banyak lubang, banyak juga yang masih baru.
Berlumpur !
BORRA :
Ternyata kakinya Daeng Palingge jauh lebih kokoh, dibanding
dengan kakimu yang keseleo itu.
DUMBA :
Jaga mulutmu kalau bicara sebab biasanya gara-gara mulut, pantat bisul jadi binasa.
BORRA :
Saya bisa membayangkan kalau kaki sekokoh itu berjalan
diatas tanah yang becek. Ia, laksana dua batang besi menikam-nikam bumi.
Dahsyat.
DUMBA :
Kita memang berbeda pandangan. Justeru pirasatku menaruh
curiga kepada orang itu..
BORRA :
Curiga bagaimana ?
Bukankah tadi kau dan aku menyambut girang kepadanya ?
DUMBA :
Apa kau tidak ingat apa yang
diucapkannya ?
BORRA :
Yang mana itu ?
DUMBA :
(MENIRU GAYA PALINGGE) Ia mesti mati malam ini juga !
BORRA :
Kau ini. Curiga boleh tapi jangan menaruh buruk sangka yang
bukan-bukan.
DUMBA :
Melihat sinar matanya laki-laki itu menyimpan dendam,
sepertinya malam ini adalah malam yang sudah lama ditung-tunggu. Aku pasti kalau
laki-laki yang bernama Palingge, itu adalah seorang yang berada dalam posisi Tumasiri’
BORRA :
Artinya adik kandung dan iparnya itu silaring ? Anynyala,
begitu ?
DUMBA :
Saya yakin teman baikmu itu
silariang dengan adik perempuannya Daeng Palingge, yang kini lagi
mengandung. (BICARA SENDIRI) Perempuan. Sesungguhnya kau merupakan kembang di
tengah halaman rumah. Wajah dari harga-diri dan kehormatan keluarga. Namun
sayang, dikau justru menimbun hianat dalam rumah; minggat dengan laki-laki tak
berhak. Malam ini dendam akan bicara.
Daeng Palingge. Mengerikan.
BORRA :
Agrrh biasa. Seorang laki-laki kesuatu tujuan yang bernama
harga diri memang harus direbut kembali dari orang yang telah merampasnya. Asal
jangan menjadi pak Tulang.
DUMBA :
Semoga banjir darah tidak terjadi.
BORRA :
Mengapa mesti kau yang takut ?
DUMBA :
Sedikitpun saya tidak takut., tapi ujung-ujungnya kita ikut
terseret di dalamnya.
BORRA :
Bagaimana mungkin ? Kau jangan menghayal yang bukan-bukan.
DUMBA :
Saya tidak menghayal, justeru hawatir karena kita yang kebetulan
ronda malam ini. Polisi pasti melibatkan kita untuk menjadi saksi.
Syukur-syukur kalau terhindar dari tuduhan bersekongkol
BORRA :
Itu kalau ada nyawa yang melayang, tapi kalau tidak ?
DUMBA :
Katakanlah tidak ada nyawa yang melayang, tetapi pasti kita tetap berurusan dengan polisi karena adanya kerusuhan. Apa lagi
kalau ada darah yang tumpah.
BORRA :
Kedengarannya kau begitu takut pada Polisi, padahal Polisi
itu bukan kanibal, melainkan pelindung rakyat, Pengayom masyarakat, katanya.
DUMBA :
Pertanyaannya adalah: Mengapa Laki-laki seberang itu bisa
mengetahui tempat tinggal teman baikmu itu, di tengah malam begini ? Apa jawabmu ?!
BORRA :
Jawaban saya sederhana : Saya adalah si pantat bisul, yang
tidak tahu apa-apa. Selesai !.
DUMBA :
Dan bisulmu yang bernanah itu akan diperas terus oleh
petugas, samapi berdarah-darah….Hah…ha…ha….
(KEDUANYA KEBALAI-BALAI …………………………)
PALINGGE :
(DI ATAS JALAN SETAPAK)
Mati ! Telah lama kutunggu malam ini (SEPERTI SANGAT LEGAH. IA KEMUDIAN
BERPALING KEBELAKANG KEARAH GUBUK)
Terima kasih kawanku Paronda. (MELANJUTKAN LANGKAHNYA LEBIH
CEPAT. DI KANAN-KIRINYA SUARA KODOK DAN SUARA JENGKRIK BAGAI
BUNYI MUSIK. IA MEMBELOK KEKIRI MENYUSURI
JALAN SETAPAK SAMPAI MENGHILANG DARI PANDANGAN)
BORRA :
Dilangit belum juga ada bintang Dumba.
DUMBA :
Sepertinya bintang-bintang itu adalah mata Bidadari yang
terlalu suci untuk memandang semua ini.
BORRA :
Hmmmm…. Penyakit. Hayalan kembali meluncur dikegelapan malam.
DUMBA :
Langit dan bumi seperti mulut raksasa, hitam dan sepi
BORRA :
Hmmm… gawat
DUMBA :
Seperti betul sebuah usul yang tak terelakkan untuk suatu
kematian.
ADEGAN 5
PALINGGE :
( MUNCUL DI TENGAH DERASNYA SUARA MATA IAR YANG MENGALIR.
SEBUAH GUBUK TIDAK JAUH DIDEPANNY. NYALA LAMPU MINYAK DARI DALAM GUBUK MENYUSUP
DISELURUH DINDING-DINDING BOLONG, MENGIRIS LEMAH KEPEKATAN MALAM. IA MENCARI
SESUATU UNTUK MENGINTIP. TAMPAK SEORANG LELAKI MEMBIMBING WANITANYA KE ATAS
BALAI-BALAI YANG TENGAH BERGUMUL DENGAN KESAKITAN. LELAKI ITU PAMPAK PENUH KEKHAWATIRAN , IA
MEMIJIT KEPALA, BETIS DAN LENGAN-LENGAN
ISTERINYA. PALINGGE MENYAKSIKAN KEADAAN ITU, IA DI GIGIL OLEH DENDAM)
Keduanya mesti mati malam ini !
IPAR :
(MEMBIMBING ISTERINYA DARI DALAM BILIK KESEBUAH BALAI-BALAI)
Kupanggil dukun !
ADIK:
Jangan tinggalkan saya sendiri.
IPAR :
Anak kita mesti lahir selamat. Dan kau. Kau mesti selamat
ADIK :
Jangan. Aku takut sendiri.
IPAR :
(TUBUHNYA LEMAS, LONGSOR KESAMPING BALAI-BALAI) Aku yang salah. Mestinya kau berada diantara
keluargamu. Dan tidak disini, sendiri diatas bukit yang sepi.
ADIK :
Jangan bicara begitu (TERBANGKIT DARI KESAKITANNYA) Ingat. Jangan ulangi ucapan semacam itu. Aku
minta.
IPAR :
Tapi tidakkah memang demikian kenyataannya ?
Lihat betapa aku telah membenamkan engkau dalam kepedihan
yang berketerusan. Kini pada saatnya dimana kesakitan yang kau alami mestinya
kita rasakan berdua, telah eng
kau borong tanpa aku ikut serta di dalamnya. Sesungguhnya
aku malu pada diriku sendiri.
ADIK :
(BANGKIT MERAPATKAN
TUBUHNYA PADA SUAMINYA, MENANGIS, TAPI IAPUN TERSENYUM) Tahukah engkau bahwa kebahagiaan tertinggi
bagi wanita adalah ketika ia berada dalam kesakitan semacam ini. Aku telah
dibekali kekuatan oleh ibuku ketika ia melahirkan adikku yang bungsu dan ini
kudengar dibisikkannya kedalam telingaku. Engkau akan mengalaminya, dan pada
saat itu akan engkau rasakan betapa bahagia itu beruntun-runtun datang di
sela-sela kesakitanmu. Demikian ibu memesankan padaku.
PALINGGE :
(MELUDAH DAN BERKATA PADA DIRINYA) Bahagia?
Kau merusak arti kebahagiaan seorang wanita dengan penghianatan yang
takdapat diampunkan.
IPAR :
Aku panggil dukun. Kau dan anak kita mesti selamat
ADIK :
Dan kau sendiri ?
IPAR :
Kenapa aku ?
ADIK :
Keselamatanmu.
IPAR :
Kenapa bicara begitu ?
ADIK :
Entahlah. Tapi…. Tapi aku tidak mau pisah dengan kau. Aku
malah tidak merasa bakal ada apa-apa dengan diriku dan anak kita. Tapi kau…….
Oh.. (TERSEDUH)
IPAR :
(MENJAWAB PENUH KEKHAWATIRAN) Bagaimana tanpa dukun ?
ADIK :
Jangan pergi, aku merasa ada sesuau disaat kau akan
melangkah keluar pintu itu. Aku…aku, oh
entahlah (KEMBALI BERGUMUL DENGAN KESAKITAN) Jangan pergi. Biar lahir
tanpa siapa-siapa. Aku sanggup aku…..
IPAR :
Aku panggil dukun
ADIK :
Jangan !
IPAR :
Mesti !
ADIK :
Jangan !
IPAR :
Dukun. Mesti dukun.
ADIK :
Jangan !
IPAR :
Mesti………
ADIK :
Jangan…….
PALINGGE :
(SEJAK TADI MENGINTIP…….. SUATU PERGUMULAN BATIN MENGGEMURUH
DI DALAM DADANYA. IA MERASA PERLU CEPAT BERTINDAK SEBE
LUM IA DIDAHULUI OLEH KESAKITAN YANG TELAH MENJANGKAU-JANGKAU
NYAWA ADIK PEREMPUANNYA. IA TIDAK BERSEDIA KESAKITAN ITU YANG MEMBUNUHNYA
TETAPI MESTI DENGAN TANGANNYA SENDIRI.)
IPAR :
Lihat engkau telah basah…………Anak kita sudah akan lahir. Aku
mesti panggil dukun !
(MERONTAK MELEPASKAN PELUKAN ISTERINYA, UNTUK MEMANGGIL
DUKUN. MELONCAT MENEROBOS PINTU)
PALINGGE :
(DENGAN TIDAK TERTAHANKAN KEDUA TANGANNYA MENERKAM LEHER
BAJU LELAKI)
Kau jangan pergi. Aku yang akan memanggil dukun.
(BERLARI DAN BERLARI TERUS KEMBALI
MENUJU POS RONDA…………….)
IPAR :
Tuhan telah menolong kita isteriku.
ADIK :
Ya. Tuhanku Beri aku kekuatan.
IPAR :
Laki-laki sejati itu … Bagai malaikat penyelamat. Minta agar
aku tidak meninggalkanmu. Semoga dukun akan datang secepatnya. Mari, aku bawa
kau kedalam. (MEMBANGUNKAN ISTERINYA DARI BALAI-BALAI LALU MEMBIMBINGNYA MENUJU
RUANGAN DALAM)
ADEGAN 6
BORRA
(MENDENGAR SESUATU) Siapa ?!
PALINGGE :
Saya
DUMBA :
Saya siapa !
PALINGGE :
Yang tadi
BORRA :
Cepat betul ? Ketemu tidak ?
PALINGGE :
Tolong, segera panggilkan dukun. Ia hampir melahirkan………...
(BERMAKSUD UNTUK PERGI…….)
DUMBA :
Tunggu ! Biasanya kalau badik sudah bicara, ujudnya pasti
kematian. Lantas kenapa mesti dukun ?
PALINGGE :
Telah kuma’afkan diriku sendiri saudara
Lompoi Sirikku, mingka lompoangngang tonji Pacceku !
DUMBA :
Kalau begitu jangan khawatir, Ibuku adalah dukun di kampung
ini…. (MEMANGGIL DUKUN)
LAPALINGGE :
Terima kasih (PERGI BERLAWANAN ARAH DENGAN DUMBA)
BORRA :
Saudaraku Palingge !
engkau telah menjinakkan malapetaka menjadi kemenangan !
(TERSENYUM SEORANG DIRI)
(LAYAR TURUN)
SEKIAN
*Penggalan; SAJAK
BULAN MEI (dibacakan Oleh penciptanya: Rendra di DPR pada tanggal 18 Mei 1998 )
“ Langkah-Langkah Dalam Gerimis ” Karya : Rahman Arge,
sengaja digarap menjadi naskah panggung berjudul : “CINCONG-CINCONG DALAM GERIMIS”
Hal ini saya lakukan adalah atas usulan pak Arge ditengah
hadirin pada ultah DKM ke 27 di Aula Benteng
Rotterdam Jl.. Ujung Pandang . Makassar
JACOB MARALA
Makassar 2 Desember 2008